Di tengah gelombang informasi yang tak terbatas di internet, kemampuan Literasi Digital menjadi keterampilan bertahan hidup yang wajib dimiliki oleh setiap pelajar, khususnya di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tanpa kemampuan Literasi Digital yang kuat, siswa rentan menjadi korban hoaks, informasi palsu (misinformation), dan propaganda. Dalam konteks pembelajaran, mengandalkan sumber yang tidak kredibel dapat merusak kualitas tugas sekolah dan menghambat pengembangan pemikiran kritis. Oleh karena itu, kurikulum sekolah harus secara eksplisit mengajarkan cara membedakan sumber informasi yang valid dan palsu. Peningkatan kemampuan Literasi Digital adalah investasi krusial dalam masa depan pendidikan.
Tiga Pilar Verifikasi Sumber Informasi
Untuk membantu siswa mempraktikkan Literasi Digital yang efektif, mereka harus diajarkan tiga pilar verifikasi sederhana yang dikenal sebagai model CRAAP (Mata Uang, Relevansi, Otoritas, Akurasi, dan Tujuan), namun dapat disederhanakan menjadi tiga poin utama:
- Otoritas (Siapa di Baliknya): Siswa harus selalu menanyakan, “Siapa yang menulis atau memublikasikan informasi ini?” Sumber kredibel harus memiliki penulis yang jelas dengan keahlian atau kualifikasi di bidangnya (misalnya, profesor, peneliti, atau lembaga resmi). Informasi tanpa penulis yang jelas, atau diterbitkan oleh situs yang domainnya tidak profesional (misalnya blog pribadi tanpa referensi), harus dipertanyakan.
- Akurasi (Bukti yang Mendukung): Informasi harus didukung oleh bukti, referensi, atau sumber data yang dapat diverifikasi (misalnya, jurnal ilmiah, statistik pemerintah, atau laporan resmi). Jika sebuah klaim besar dibuat tanpa menyebutkan sumber studi, besar kemungkinan informasi itu tidak valid.
- Tujuan (Mengapa Dipublikasikan): Siswa perlu mengenali apakah tujuan artikel adalah untuk menginformasikan, meyakinkan, atau menjual. Materi yang jelas-jelas bertujuan untuk memicu emosi, mempromosikan produk secara berlebihan, atau memecah belah opini publik perlu diwaspadai sebagai sumber bias atau hoaks.
Peran Sekolah dan Guru dalam Praktik Kelas
Integrasi Literasi Digital harus dilakukan di semua mata pelajaran. Guru tidak hanya memberikan tugas mencari informasi, tetapi juga tugas memverifikasi informasi yang ditemukan.
Sebagai contoh, di SMP Negeri 1 Denpasar, Guru Sejarah pada Semester Ganjil 2025 memberikan tugas riset tentang peristiwa tertentu dan mewajibkan siswa untuk menyertakan minimal tiga sumber yang diakui kredibel (misalnya, situs kementerian, jurnal akademik, atau museum). Siswa harus mempresentasikan alasan mengapa mereka memilih sumber-sumber tersebut, bukan hanya isinya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor mengadakan workshop Literasi Digital untuk guru dan siswa kelas IX setiap hari Sabtu di bulan Oktober 2025. Workshop tersebut fokus pada penggunaan tools reverse image search untuk melacak asal-usul foto dan video yang beredar, yang merupakan keterampilan penting dalam melawan disinformasi.
Penanganan Hoaks dan Keamanan Hukum
Dalam kasus yang melibatkan penyebaran informasi palsu yang berpotensi menimbulkan keresahan atau mencemarkan nama baik, Literasi Digital juga berkaitan dengan hukum. Siswa harus memahami bahwa menyebarkan hoaks dapat melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), melalui Unit Cyber Crime Polda setempat, secara berkala memberikan penyuluhan di sekolah-sekolah, menjelaskan konsekuensi hukum dari penyalahgunaan media sosial. Pada sosialisasi yang diadakan di Aula Sekolah pada Jumat, 15 November 2024, seorang Petugas Humas Polda mengingatkan siswa untuk selalu memverifikasi informasi sebelum membagikannya, menekankan bahwa tindakan sederhana dalam membagi berita palsu dapat berujung pada kasus pidana. Sekolah, sebagai institusi, harus menjadi garda terdepan dalam membentuk remaja yang cerdas, etis, dan bertanggung jawab di dunia digital.